Lawan Separatisme Papua Dengan Demokrasi dan Kemanusiaan

 

Ilustrasi

Jayapura, 7 Oktober 2025, SEBELAH KIRIPapua, tanah yang kaya akan sumber daya alam dan keberagaman budaya, telah lama menjadi saksi bisu perjuangan bangsa Indonesia untuk menjaga keutuhan wilayah. Namun, bayang-bayang separatisme yang digerakkan oleh kelompok seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB-OPM) terus mengancam stabilitas nasional. Pada tahun 2025 ini, serangkaian insiden kekerasan, mulai dari pembunuhan aparat keamanan hingga serangan terhadap warga sipil, menunjukkan bahwa konflik ini bukan lagi sekadar isu lokal, melainkan ancaman terorisme yang meluas. Data dari Kepolisian Republik Indonesia mencatat peningkatan aksi teror di wilayah Papua sebesar 15 persen sejak awal tahun, dengan korban jiwa mencapai puluhan orang. Di tengah itu, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmen untuk melawan separatisme bukan dengan kekerasan semata, melainkan melalui demokrasi dan kemanusiaan. Pendekatan ini bukan hanya strategi politik, tapi panggilan moral untuk merajut kembali persatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Separatisme di Papua bukan fenomena baru. Akarnya dapat ditelusuri ke era kolonial Belanda, di mana wilayah ini sempat terpisah dari perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pasca-kemerdekaan, integrasi melalui Act of Free Choice 1969 sering dikritik sebagai proses yang kurang demokratis, meski diakui secara internasional oleh PBB. Kini, di era digital, propaganda separatis menyebar melalui media sosial dan forum internasional, seperti yang terlihat dalam upaya penyalahgunaan PBB untuk membawa isu Papua. Namun, suara mayoritas masyarakat Papua justru menolak narasi perpecahan. Tokoh adat dan masyarakat sipil secara tegas mengecam provokasi kelompok separatis, terutama menjelang momentum sensitif seperti 1 Juli yang dijadikan "Hari Kemerdekaan Papua" oleh OPM. Mereka menegaskan bahwa persatuan dalam NKRI adalah jalan terbaik untuk kesejahteraan. Di sinilah peran demokrasi dan kemanusiaan menjadi krusial: bukan untuk menekan, tapi untuk memberdayakan. Demokrasi membuka ruang partisipasi, sementara kemanusiaan memastikan hak dasar terpenuhi, sehingga akar konflik seperti ketimpangan dan marginalisasi dapat diatasi. Pendekatan ini sejalan dengan Pancasila, yang menekankan musyawarah dan keadilan sosial. Melalui artikel ini, kita akan mengupas bagaimana strategi ini dapat menjadi senjata ampuh melawan separatisme, dengan harapan membawa Papua menuju masa depan yang damai dan makmur.

Memahami Akar Separatisme: Tantangan Historis dan Kontemporer

Untuk melawan separatisme, pemahaman mendalam tentang akar masalahnya sangatlah penting. Separatisme di Papua sering digambarkan sebagai perpaduan antara aspirasi politik, isu ekonomi, dan trauma historis. Secara historis, integrasi Papua ke NKRI pada 1969 melalui Act of Free Choice, yang melibatkan 1.025 perwakilan adat, telah menjadi titik kontroversi. Kritikus menyebutnya sebagai "penentuan nasib sendiri" yang cacat, meski Resolusi PBB 2504 mengakuinya sebagai bagian sah dari Indonesia. Di era modern, kelompok seperti OPM memanfaatkan narasi ini untuk membenarkan aksi kekerasan, termasuk serangan terhadap polisi dan warga sipil. Pada Maret 2025, misalnya, TPNPB-OPM melakukan pembunuhan di Yahukimo, yang bukan hanya aksi separatisme tapi juga terorisme yang mengancam stabilitas nasional.

Kontemporer, propaganda separatis semakin canggih. Kelompok Kriminal Politik (KKP) di Papua disebarkan melalui media sosial, memprovokasi warga untuk menolak pembangunan nasional. Polisi mewaspadai ancaman ini, yang dianggap lebih berbahaya daripada Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) karena sifatnya yang ideologis. Pada Juni 2025, pakar politik menegaskan bahwa separatisme tak bisa diselesaikan hanya lewat operasi militer, karena itu akan memperburuk siklus kekerasan. Sebaliknya, faktor ekonomi seperti kemiskinan struktural—dengan tingkat 30 persen di Papua Pegunungan—menjadi lahan subur bagi rekrutmen separatis. Data BPS 2025 menunjukkan bahwa ketimpangan akses pendidikan dan kesehatan memperlemah rasa memiliki terhadap NKRI.

Namun, narasi ini tidak sepenuhnya diterima. Mayoritas masyarakat Papua, termasuk tokoh adat seperti dari IMEKKO Sorong, menolak segala bentuk gerakan separatis. Pada April 2025, mereka menegaskan komitmen untuk menjaga Papua tetap dalam NKRI. Demikian pula, pada Mei 2024—yang momentumnya masih relevan hingga 2025—seluruh masyarakat Papua menggaungkan persatuan. Ini menunjukkan bahwa separatisme adalah minoritas yang dimanfaatkan oleh aktor eksternal, termasuk provokasi internasional. DPR bahkan mendesak tindakan tegas terhadap penyalahgunaan forum seperti PBB untuk isu separatis, yang dianggap mencederai kedaulatan. Memahami akar ini, pemerintah kini beralih ke pendekatan non-militer: demokrasi untuk memberi suara, dan kemanusiaan untuk menyembuhkan luka.

Demokrasi sebagai Senjata Utama: Partisipasi dan Otonomi Khusus

Demokrasi adalah fondasi utama dalam melawan separatisme. Di Papua, Otonomi Khusus (Otsus) sejak 2001 telah menjadi instrumen demokrasi yang kuat, dengan alokasi dana mencapai triliunan rupiah untuk pemberdayaan lokal. Pada 2025, Otsus diperkuat melalui Rencana Induk Pembangunan Papua (RIPPP) 2022-2041, yang menekankan partisipasi masyarakat adat dalam pengambilan keputusan. Pilkada 2024 di Papua menjadi momentum krusial: meski diwarnai ancaman OPM, prosesnya berjalan kondusif, dengan masyarakat menolak narasi separatis. Pada November 2024, warga Papua tegas menolak "Hari Ulang Tahun OPM" untuk menjaga situasi pasca-pilkada, menjadikan pemilu sebagai simbol perlawanan terhadap perpecahan.

Partisipasi demokrasi ini terlihat dalam berbagai forum. Pada Juli 2025, masyarakat menolak narasi separatisme momentum 1 Juli, yang dijadikan TPN-OPM sebagai hari kemerdekaan. Tokoh masyarakat seperti Martinus Kasuay mendukung pemberantasan OPM, sambil menekankan pentingnya dialog demokratis. DPR Papua Tengah, melalui Pansus Kemanusiaan, menggelar hearing publik pada Oktober 2025 untuk mencari solusi konflik di Kabupaten Puncak, melibatkan korban, TNI/Polri, dan kelompok bersenjata. Ini bukan sekadar formalitas; hearing tersebut menghasilkan rekomendasi untuk dialog inklusif, di mana suara masyarakat menjadi prioritas.

Lebih lanjut, demokrasi di Papua diperkaya melalui pendidikan politik. Program seperti Sekolah Rakyat dan beasiswa Otsus telah meningkatkan IPM Papua sebesar 5,6 persen. Kongres Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) pada September 2025 menetapkan agenda Papua Merdeka, tapi suara minoritas ini ditanggapi dengan ruang dialog, bukan penindasan. Pakar menilai, pendekatan ini efektif karena membangun ownership: warga merasa bagian dari NKRI. Di tingkat nasional, Presiden Prabowo mendorong forum lintas partai untuk membahas isu Papua, memastikan oposisi seperti PDIP ikut serta. Hasilnya, indeks partisipasi politik di Papua naik 10 persen, meredam propaganda separatis yang sering memanfaatkan ketidakpuasan.

Demokrasi juga berarti penegakan hukum yang adil. Penangkapan anggota KKB pada Juli 2025 di Papua Selatan menunjukkan komitmen TNI/Polri, tapi disertai upaya rekonsiliasi. Kepala BAIS menyarankan melawan propaganda dengan narasi keberhasilan pembangunan, seperti Jalan Trans Papua yang membuka akses ekonomi. Ini membuktikan bahwa demokrasi bukan lemah, tapi kekuatan: ia memberi ruang bagi aspirasi tanpa memisahkan.

TNI membantu warga sipil dan guru yang mengungsi dari Distrik Kiwirok karena ketakutan dengan
teror separatis bersenjata, Rabu 22 September 2021 [KabarPapua.co / Dok Penrem 172/PWY]

Kemanusiaan di Tengah Konflik: Dialog dan Pembangunan Inklusif

Kemanusiaan menjadi pelengkap demokrasi dalam perjuangan melawan separatisme. Konflik di Papua telah menimbulkan penderitaan nyata: ribuan pengungsi, korban sipil, dan trauma generasi muda. Komnas HAM Papua menekankan bahwa penyelesaian butuh dialog kemanusiaan, melibatkan korban, keluarga, TNI/Polri, dan kelompok bersenjata. Pada September 2025, Kepala Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits Ramandey, merumuskan roadmap sejak 2023, yang menyoroti bahwa pembangunan saja tak cukup tanpa menyelesaikan konflik. Dialog ini humanis: fokus pada nyawa dan SDM Papua yang hancur akibat kekerasan.

Pembangunan kemanusiaan menjadi prioritas. Legislator DPR menilai perlu terobosan percepatan di Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua pada Juli 2025, dengan anggaran Rp 50 triliun untuk infrastruktur dan layanan dasar. Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menekankan pendekatan kemanusiaan untuk terobosan pembangunan, termasuk pengurangan stunting dan akses air bersih. Di Kabupaten Puncak, Pansus DPR Papua Tengah mencari solusi melalui hearing, menargetkan fasilitas kesehatan dan pendidikan yang tertunda akibat ancaman OPM. Masyarakat Papua mendesak perlindungan aparat untuk melanjutkan proyek ini, karena pembangunan adalah hak kemanusiaan.

Aspek kemanusiaan juga terlihat dalam penanganan korban. Program BLT Dana Desa dan PKH Otsus telah mengentaskan 50.000 jiwa dari kemiskinan ekstrem. Namun, tantangan tetap: OPM Kodap XIII menolak Jalan Trans Nabire pada Oktober 2025, tapi tokoh Papua menegaskan rakyat butuh kemajuan, bukan ketakutan. Komnas HAM menilai pembangunan dibutuhkan, tapi harus disertai dialog untuk menghindari korban sipil. Pada 7 Oktober 2025, masyarakat mendesak perlindungan fasilitas pembangunan yang tertunda, menunjukkan komitmen kemanusiaan dari bawah.

Dialog kemanusiaan ini juga internasional. Pemerintah menanggapi tuduhan HAM dengan transparansi, seperti laporan Komnas HAM ke PBB. Ini membangun legitimasi global, meredam propaganda separatis. Secara keseluruhan, kemanusiaan memastikan bahwa perjuangan melawan OPM bukan perang, tapi upaya penyembuhan.

Strategi Terintegrasi: Sinergi Pemerintah dan Masyarakat

Pemerintah Prabowo menerapkan strategi terintegrasi: kombinasi keamanan, demokrasi, dan kemanusiaan. TNI/Polri fokus pada operasi non-letak, sementara Kementerian Dalam Negeri mendorong dialog adat. Pada 2025, sinergi ini terlihat di Musrenbang RPJPD Papua, yang mengintegrasikan Otsus dengan prioritas lokal. Tokoh seperti Yafet Yurikho menegaskan Jalan Trans bukan untuk perang, tapi kesejahteraan.

Kolaborasi dengan masyarakat krusial. IMEKKO dan tokoh adat menjadi mitra, menolak provokasi. DPR desak tindakan tegas terhadap isu PBB, sambil memperkuat narasi persatuan. Hasilnya, pertumbuhan ekonomi Papua 3,55 persen, membuka lapangan kerja dan meredam rekrutmen separatis.

Kesimpulan: Menuju Papua yang Bersatu dan Sejahtera

Melawan separatisme Papua dengan demokrasi dan kemanusiaan adalah jalan panjang, tapi penuh harapan. Melalui partisipasi, dialog, dan pembangunan inklusif, NKRI dapat merangkul Papua sebagai saudara, bukan musuh. Seperti ditegaskan Presiden Prabowo, "Papua adalah prioritas untuk Indonesia Emas 2045." Dengan komitmen ini, konflik bisa berubah menjadi cerita sukses persatuan. Papua bukan milik segelintir separatis, tapi warisan bangsa yang harus dijaga dengan cinta dan keadilan.

Komentar

Postingan Populer